Penerapan UU No 12 Tahun 1995 Kepada Anak yang Terlibat Dengan Hukum
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan Bangsa dan Negara. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas mengamanatkan bahwa Negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. UU Nomor 12 tahun 1995 tenrtang pemasyarakatan menimbang bahwa pada hakikatnya Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam satu sistem pembinaan yang terpadu. Dalam UU ini yang dimaksud dengan Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan,dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana khususnya terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
Seiring dengan kemajuan budaya dan iptek, prilaku manusia didalam hidup bermasyarakat dan bernegara justru semakin kompleks dan bahkan multi kompleks. Prilaku demikian apabila di tinjau dari segi hukum tentunya ada prilaku yang dapat dikategorikan sesuai dengan norma da nada prilaku yang tidak sesuai dengan norma.
Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya :
Untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan pelindungan khusus, terutama pelindungan hukum dalam sistem peradilan.
Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang mengatur prinsip pelindungan hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untuk memberikan pelindungan khusus terhadap ABH.
Anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.
Perlindungan Anak adalah segala kegiatan utk menjamin & melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang & berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat & martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan & diskriminasi. Anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya, serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi. peningkatan akses terhadap pelayanan yang berkualitas, peningkatan partisipasi anak dalam pembangunan, dan upaya menciptakan lingkungan yang ramah anak dalam rangka mendukung tumbuh kembang dan kelangsungan hidup anak.
Peningkatan perlindungan anak dari kekerasan dan diskriminasi dan peningkatan efektivitas kelembagaan perlindungan anak.
1. Peningkatan kualitas tumbuh kembang dan kelangsungan hidup anak, antara lain melalui :
• peningkatan aksesibilitas dan kualitas program pengembangan anak usia dini
• peningkatan kualitas kesehatan anak, dan
• peningkatan pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja.
2. Perlindungan anak dari segala bentuk tindak kekerasan dan diskriminasi, antara lain melalui :
• peningkatan rehabilitasi dan pelindungan sosial anak
• peningkatan perlindungan bagi pekerja anak
• penghapusan pekerja terburuk anak, dan
• peningkatan perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum.
3. Peningkatan kapasitas kelembagaan perlindungan anak, antara lain melalui:
• penyusunan dan harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait perlindungan anak
• peningkatan kapasitas pelaksana perlindungan anak
• peningkatan penyediaan data dan informasi perlindungan anak, dan
• peningkatan koordinasi dan kemitraan antar pemangku kepentingan terkait pemenuhan hak-hak anak, baik lokal, nasional maupun internasional.
Pendekatan Sistem Perlindungan Anak (SPA) SPA fokus pada setiap elemen sistem perlindungan anak yang saling berinteraksi, meliputi:
1. Sistem Hukum dan kebijakan
2. Sistem kesejahteraan sosial
3. Sistem peradilan anak
4. Sistem perubahan perilaku, dan
5. Sistem data dan informasi anak.
Keadilan restoratif (diversi) pada prinsipnya dimaksudkan sebagai upaya untuk menghindarkan dan menjauhkan anak dari proses peradilan, penahanan dan pemenjaraan, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir, serta menghindarkan stigmatisasi terhadap anak. Selaras dengan filosofi pemasyarakatan, sistem pemasyarakatan pada hakekatnya adalah system perlakuan/pembinaan pelanggar hukum yang bertujuan pemulihan kesatuan hidup, kehidupan dan penghidupan. Sebagai suatu sistem perlakuan, fungsi pemasyarakatan menjadi sangat vital dan strategis dalam proses peradilan pidana anak. Peran starategis pemasyarakatan mulai bergerak sejak proses penyidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana, sejak pra-ajudukasi, ajudikasi dan post ajudikasi.
Namun, dalam pelaksanaannya anak diposisikan sebagai objek dan perlakuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum cenderung merugikan anak. Selain itu, undang-undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum.
Secara sosiologis hasil pemeriksaan yang dilakukan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tahun 2014 menunjukkan bahwa pelaksanaan sistem Pemasyarakatan, pelaksanaan proses pemasyarakatan belum sesuai dengan yang diharapkan. Kesenjangan informasi, perbedaan persepsi dan pola pikir, serta perbedaan penafsiran aparat pelaksana pidana mengakibatkan gerak maju pelaksanaan sistem pemasyarakatan, dan proses bisnis pemasyarakatan, serta proses perlakuan menjadi terkendala, dan terganggu. Bahwa untuk menjamin pelaksanaan sistem perlakuan dan proses pembinaan anak, maka pembinaan dan pembimbingan harus diarahkan untuk kepentingan terbaik bagi anak, menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, serta penghargaan terhadap pendapat anak.
Dalam perspektif itulah peran Negara wajib hadir, peran negara menjadi sangat penting dalam menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak.Semua stageholder berkewajiban dan bertanggung jawab untuk melindungi dan meningkatkan kesejahteraan anak demi kelangsungan hidup bangsa dan Negara. Dalam konteks itulah pedoman umum perlakuan anak ini disusun, sekaligus sebagai upaya mewujudkan terselenggaranya operasionalisasi penyelenggaraan tugas dan fungsi Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) secara efektif dan efisien.
Lembaga pembinaan khusus anak yang disingkat LPKA adalah lembaga atau tempat anak yang menjalani masa pidananya. Apabila dalam suatu daerah belum terdapat LPKA, anak dapat ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan yang penempatannnya terpisah dari orang dewasa. Anak yang dijatuhi pidana penjara ditempatkan dalam LPKA. Anak dalam hal ini berhak memperoleh pembinaan, pembimbingan, pengawasan, pendampingan, pendidikan dan pelatihan serta hak lain sesuai dengan ketentuan perundang – undangan yang berlaku.
Dalam hal ini, hak yang diperoleh anak selama ditempatkan di LPKA diberikan sesuai dengan ketentuan Undang-undang tentang pemasyarakatan. Dalam pemberian hak tersebut, tetap perlu diperhatikan pembinaan bagi anak yang bersangkutan, antara lain mengenai perkembangan dan pertumbuhan anak, baik fisik, mental maupun sosial. Selain itu, LPKA wajib menyelenggarakan pendidikan, pelatihan, ketrampilan, pembinaan dan pemenuhan hak lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
LPKA berkewajiban untuk memindahkan anak yang belum selesai menjalani pidana di LPKA dan telah mencapai umur 18 tahun ke Lembaga Pemasyarakatan Pemuda. Dalam hal anak telah mencapai umur 21 tahun, tetapi belum selesai menjalani masa pidana, anak dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Dewasa dengan memperhatikan kesinambungan pembinaan anak.
Akan tetapi dalam hal tidak terdapat Lembaga Pemasyarakatan Pemuda, kepala LPKA dapat memindahkan anak ke Lembaga Pemasyarakatan Dewasa berdasarkan rekomendasi dan Pembimbing Kemasyarakatan. Penempatan anak di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan dengan menyediakan blok tertentu bagi mereka yang telah mencapai umur 18 tahun sampai dengan umur 21 tahun.
Lebih lanjut lagi, sebagai tersangka/terdakwa maka identik dengan orang dewasa seorang anak juga mempunyai sejumlah hak dalam menghadapi proses perkaranya. Pada dasarnya, hak-hak tersangka anak secara eksplisit terdapat didalam ketentuan pasal 3 dan 4 Undang – Undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Jaminan perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum tersebut wajib mengutamakan pendekatan keadilan restorative berwujud konsep diversi. Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana (UU SPPA).
untuk lebih lengkapnya silahkan klik https://www77.zippyshare.com/v/XGDgee36/file.html
terimakasih
mantap
BalasHapus