Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tinjauan Sosiologis Mengenai Tradisi Wiwitan


Tinjauan Sosiologis Mengenai Tradisi Wiwitan

Tinjauan Sosiologis Mengenai Tradisi Wiwitan

Oleh Kosim, S.Sos

Pertanian merupakan sumber penghasil pangan masyarakat dan Negara dalam memenuhi kebutuhan pangan selama kurun waktu tertentu, hal ini sehingga Indonesia dikenal dengan Negara agararis. Dari sekian banyak hasil pertanian, masyarakat Indonesia menempatkan tanaman padi sebagai sumber pangan yang utama. Bagi masyarakat trans Jawa seperti di daerah saya, padi merupakan tanaman yang menjadi penghidupan para petani. Petani Jawa menanam tanaman padi sebagai sumber rezeki dan kehidupan selain sebagai pemuas kebutuhan makan. Sebagai wujud syukur menjelang panen para petani Jawa di Desa Batu Raja melaksanakan tradisi Wiwitan atau Mimiti. Sepeti di Sleman tradisi ini diawali dengan memberikan sejumlah persembahan pada Dewi Sri yang merupakan Dewi Padi. Persembahan itu berupa makanan, buah dan alat kecantikan. Setelah itu, tokoh atau sesepuh desa membacakan doa permohonan agar diberikan perlindungan dan keselamatan (Hatta, 2013).[1]
Pelaksanaan Wiwitan ini pun berbeda antara daerah satu dengan daerah lain, seperti halnya di daerah saya pelaksanaan Wiwitan dilakukan oleh orang yang memiliki sawah sedangkan di daerah lain seperti di Jawa Wiwitan dilakukan oleh sesepuh desa hal ini yang membedakan Wiwitan di daerah saya dan daerah lain. Perbedaan ini tidak terlepas dari masyarakatnya yang sudah mengalami modernisasi, hal ini terbukti di daerah saya jika ada petani yang melaksanakan tradisi Wiwitan banyak warga yang mengatakan Wong Kuno (orang dahulu). Berbeda dengan di Jawa meskipun masyarakatnya sudah modernisasi tetapi hal tidak menghalangi mereka untuk mempertahankan tradisi yang diwariskan oleh leluhur. Selain itu perbedaan ini pun tidak terlepas dari kuatnya kepercayaan masyarakat Jawa kepada hal-hal mistik.
Wiwitan ini dilaksanakan sebelum panen, dan dalam pelaksanaan Wiwitan para petani biasannya memilih hari yang pas, kemudian petani menyiapkan apa-apa saja yang perlu disiapkan dalam proses ritual Wiwitan seperti degan (kelapa muda), bubur abang (bubur merah), bubur putih, rokok 2 batang, kinang (pinang), nasi putih, ingkung ayam, sayur mie, kemenyan, dan daun dadap 3 lembar serta bunga. Dan pada saat melaksanakan Wiwitan ini petani berdoa kepada Dewi Sri, adapun doa yang biasa dibacakan dalam bentuk bahasa jawa  yaitu Nini Sri,  Kaki Sri, kulo ajeng mimiti pantun dinten jemuah mugi-mugio seng waras, selamet mboten enten alangan, seng mendet waras seng dipendet waras mawon. Monggo mbah, kulo ngaturi ngunjuk benteran mbok  enten salah kelepatane nyuwun di ngapurani monggo mbah.. (Nenek Sri, Kakek Sri saya mau memanen padi hari jum’at semoga tidak ada halangan bagi yang memanen dan yang dipanen. saya kasih sesaji kalu ada salah saya minta dimaafkan silahkan mbah).
Disini saya melihat dalam wiwitan  terdapat interaksi sosial. Dimana Wiwitan merupakan simbol hubungan yang harmonis sebagai wujud interaksi sosial. Selain itu dalam Wiwitan juga terdapat sebuah kerja sama, pertukaran sosial, konflik yang mengarah ke permusuhan dan solidaritas, serta hubungan keselarasan antara petani pemilik lahan dengan alam yang telah menyediakan dan mencukupi kebutuhan petani padi. Hal yang sama juga saya lihat orang Jawa memaknai tradisi wiwitan sebagai wujud terimakasih dan wujud syukur kepada bumi sebagai sedulur sikep dan Dewi Sri (Dewi Padi) yang telah menumbuhkan padi yang ditanam. Bumi sebagai sedulur sikep bagi orang Jawa karena bumi dianggap sebagai saudara manusia yang harus  dihormati dan dijaga kelestariannya untuk kehidupan, sehingga masyarakat Jawa menganggap ada hubungan yang erat antara manusia dan bumi. Menurut Afrianto (2013) bahwa jika manusia hormatnya kurang kepada bumi atau kita tidak menjaga kelestarian alam, maka bumi akan memberi balasan dengan situasi yang buruk yang disebut pagebluk, yakni suatu keadaan yang ditandai dengan hasil panen yang buruk, padi tidak berisi (gabug), kekeringan, cuaca tak menentu, dll.[2]

Kepercayaan Bumi sebagai sedulur sikep, sehingga petani Jawa berbeda dengan petani lainnya, karena petani jawa sangat memegang erat kepercayaannya dalam melakukan proses pertaniannya seperti saat tanam dan panen. Hal ini yang membuat saya ingin mengetahui ada apa dengan petani Jawa yang berbeda dengan petani lainya, dan mengapa petani Jawa sangat memegang teguh tradisi-tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang dalam bertani.

Teori Pertukaran Sosial
Jika kita melihat tradisi Wiwitan kita juga akan melihat apa yang terjadi, serta yang dilakukan oleh masyarakat petani Jawa. Dalam hal ini peneliti melihat adanya sebuah kerjasama tanpa memberikan upah kepada pekerja yang dalam bahasa Jawa disebut dengan Liuran.
Dimana Liuran ini merujuk pada teori pertukaran sosial.  Adapun konsep perubahan sosial Peter Blau terbatas pada tindakan-tindakan yang sementara, yang tergantung pada reaksi dari orang lain dan tindakan yang akan hilang ketika reaksi-reaksi yang diharapkan tidak muncul.orang tertarik satu sama lain karena berbagai alas an yang mendorong mereka membangun asosiasi sosial.  Ketika ikatan awal terbangun, imbalan yang mereka berikan satu sama lain memelihara dan memperkuat ikatan. Situasi sebaliknya pun mungkin terjadi: dengan imbalan yang memadai, asosiasi akan melemah atau putus. Imbalan yang dipertukarkan dapat bersifat intrinsic (misalnya, cinta, kasih, saying, hormat) atau ekstrinsik (misalnya, uang, kerja fisik). Masing-masing pihak tidak mungkin selalu memberikan imbalan yang secara satara satu sama lain; ketika terjadi ketimpangan pertukaran, perbedaan akan muncul dalam asosiasi.[1]
Interaksi sosial pertama-tama ada di dalam kelompok-kelompok sosial. Orang tertarik kepada suatu kelompok ketika mereka merasakan bahwa hubungan-hubungan itu memberikan keuntungan atau imbalan yang lebih banyak dari pada hubungan-hubungan dengan kelompok-kelompok lain. Kerana mereka tertarik kepada kelompok itu mereka ingin diterima. Agar dapat diterima, mereka harus memberikan imbalan-imbalan kepada anggota kelompok. Hal itu mencakup pemberian kesan kepada para anggota kelompok dengan menunjukan kepada mereka bahwa hubungan dengan orang-orang baru akan member imbalan. Hubungan dengan para anggota kelompok akan dipererat bila para pendatang baru telah mengesankan para anggota telah menerima imbalan-imbalan yang mereka harapkan. Usaha-usaha para pendatang baru untuk mengesankan para anggota kelompok secara umum menghasilkan kepaduan kelompok, tetapi persaingan dan, pada akhirnya, diferensiasi sosial dapat terjadi bila terlalu banyak orang berusaha secara aktif mengesankan satu sama lain dengan kemampuan mereka untuk member imbalan.
Berbagai bentuk tindakan seseorang kepada orang lain sebenarnya menjadikan orang tersebut untuk melakukan suatu usaha dengan menghitung-hitung segala tindakanya tersebut. Hal ini tentu lebih mengarah pada perhitungan adanya keuntungan atau imbalan tertentu. Jika keuntungan yang diperoleh dengan nilai yang ckukup tinggi, semakin mendorong seseorang tersebutuntuk melakukan kembali kepada orang lain yang telah memberikan keuntungan baginya. Namun sebaliknya, jika ia memandang bahwa apa yang dilakukan kepada orang lain justru merugikan maka ia akan merasa enggan untuk melakukanya kembali tindakan tersebut. Melihat penjelasan di atas, pertukaran yang terjadi sebagai akibat dari interaksi sosial antara individu atau kelompok yang dikehendaki maupun yang tidak dikehendaki akan menimbulkan pola pikir dan tindakan yang berbeda dengan sebelumnya yakni pada masyarakat itu sendiri. Tindakan-tindakan yang berbeda dengan sebelumnya ini sering terjadi di kalangan petani di Desa Batu Raja maupun di desa saya, misalnya dalam suatu kelompok yang melakukan Liuran terdiri 5 orang, kemudian mereka  melakukan pekerjaan tanam maupun panen secara bergiliran, dan salah satu anggota kelompok tidak ikut dalam melakukan panen di salah satu anggota kelompok yang satu ini merupakan sebuah tindakan yang berbeda dengan yang sebelunya karena anggota yang satu tidak mengikuti perjanjian awal yang disepakati.
                                                                                                                 
Kemudian di kaitkan dengan tradisi wiwitan kita dapat melihat adanya pertukaran dalam bentuk kerja fisik, yang dimana individu atau kelompok melakukan sebuah pertukaran kerja fisik ini akibat dari interaksi sosial di antara individu dan kelompok. Namun, pertukaran ini akan berhenti jika hadiah atau imbalan tidak kunjung diberikan oleh individu atau kelompok tersebut. Hal ini yang memicu terjadinta sebuah konflik horizontal maupun vertikal. Namun yang sering terjadi dilingkungan petani di daerah saya maupun yang ada di Desa Batu Raja itu adalah konflik horizontal yakni antara individu dengan individu dalam hal ini petani dengan petani. Konflik yang diakibatkan oleh anggota dalam suatu kelompok merupakan akibat dari tindakan yang berbeda, hal ini biasanya sudah tidak ada kekompakan lagi dalam kelompok tersebut. Namun konflik dan kekompakan hal yang tidak bisa dipisahkan karena dalam sebuah kelompok pasti ada sebuah persaingan dan ketegangan di dalamnya. Konflik bisa terjadi dalam proses pertukaran sosial maupun kelompok yang memiliki kekompakan yang tinggi contohnya dalam Tradisi Wiwitan yang umumnya sebuah kelompok yang memiliki kekompakan, hal ini seperti yang dijelaskan Simmel bahwa konflik sangat erat kaitanya dengan berbagai proses yang mempersatukan dalam kehidupan sosial, dan bukan hanya sekedar lawan dari persatuan. Konflik dan persatuan dapat dilihat sebagai bentuk lain dari sosiasi; yang satu tidak lebih penting atau lebih mutlak dari yang lainnya.. keduanya biasa, dan merupakan interaksi yang bersifat timbal-balik.[2] Artinya bahwa konflik akan selalu ada dalam sebuah kelompok yang mempunyai persatuan yang tinggi karena pada umumnya dalam kelompok terdapat persaingan-persaingan antar anggota kelompok tersebut. Hal ini membuktikan bahwa apa yang di katakana oleh Simmel benar bahwa konflik dan persatuan merupakan interaksi yang bersifat timbal-balik. Selain itu, jika kita mencermati penjelasan di atas dari sudut pandang sosiologi, Simmel juga menjelaskan lawan dari persatuan bukanlah konflik melainkan keterlibatan (noninvolvement, artinya tidak ada satu pun bentuk interaksi timbal-balik). Artinya bahwa kalau suatu hubungan sosial dapat dirusak oleh meledaknya perselisihan, hal ini menunjukan kepada kita bahwa tingkat kesatuan atau kekompakan dalam kelompok tersebut benar-benar rendah.



[1] Dalam George Ritzer. 2013. Teori Sosiologi Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembanganya Terakhir     Postmodern. Perum Sidorejo Bumi Indah: Kreasi Wacana.
[2] Dalam Johnson. 1986. Teori sosiologi klasik dan modern. Jakarta: PT. gramedia. Hlm. 269.


[2] Dalam Andri Afriyanto. 2013. Sebuah Jurnal Wiwit, Sebuah Tradisi Menjelang Panen Padi.



KAJIAN SOSIAL
KAJIAN SOSIAL Assalamualaikum Wr. Wb Abd Rahman Asril, sudah ngeblog dari tahun 2015, dan saat ini mengajar di MTs. Negeri 1 Pohuwato, Gorontalo

Posting Komentar untuk "Tinjauan Sosiologis Mengenai Tradisi Wiwitan"