Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

PERGESERAN TRADISI RITUAL DUTAIDUATA PADA MASYARAKAT SUKU BAJO DI KECAMATAN POPAYATO KABUPATEN POHUWATO


Indonesia merupakan negara yang  memiliki beragam suku   bangsa yang menyebar, dan menetap dari bergai pulau baik, itu pulau besar dan kecail, dari sabang sampai marauke, Indonesai juga merupakan negara yang terkenal dengan bergam budaya dan tradisi. Masyarakat dan budaya merupakan dua aspek yang tidak dapat dipisahkan, dalam artian bahwa setiap kelompok masyarakat entah itu yang bersifat tradisional maupun modern pasti memiliki suatu budaya yang tidak dapat dilepaskan dari masyarakat itu sendiri.
Peran kebudayaan menjadi sangat penting dalam kehidupan masyarakat karena karekterristik dari kebudayaan yang menjadi dasar dari masyarakat itu sendiri, nilai-nilai yang terkandung dalam budaya tersebut yang menjadi identitas dari kelompok itu sendiri. Indonesia memiliki perbedaan antar suku. Perbedaan yang dimaksud adalah bahasa, sastra, dan budaya. Masing-masing perbedaan yang terdapat dalam suku bangsa itu tetap dijaga dan dipelihara demi pengembangan ilmu bahasa, sastra, dan budaya.
Kebudayaan Indonesia masih banyak dalam bentuk tidak terulis ( lisan).  Seperti berbagai kepercayaan rakyat  adat istiadat, mitos . Namun kesemuanya itu masih terjaga  kearifannya oleh masyarkat itu, meskipun kita tau jaman modern yang serba canggih dimana masyarakat dan kebudayaan yang hidup di dunia selalu bergerak, berubah dan berkembang. Ritual dan budaya masyarakat Bajo selalu berhubungan dengan kepercayaan atau agama, masyarakat Bajo merupakan masyarakat yang notabenenya memeluk agama Islam, mereka juga sangat menjunjung nilai-nilai agama sangat tinggi pada kehidupan sehari-hari maupun  pada ritual dan adat istiadat pada masyarakat itu sendiri.  
Masyarakat Bajo di Torosiaje memilik sistem sosial yang berlaku pada setiap masyarakat seperti sistem kepercayaan, adat istiadat, hukum adat dan aturan- aturan lainya yang tampak pada kehidupan sehari-hari masyarakat tersebut dan termasuk pada ritual adat. Pengetahuan tentang lingkungan perairan laut ikut menentukan atau mengatur tata kehidupan masyarakat Bajo. Dalam pemahaman orang Bajo, dunia laut kurang lebih sama dengan dunia darat, yang mempunyai hutan, gunung, sungai lembah dan lain-lain. Kebanyakan masyarakat nelayan meyakini bahwa laut memiliki penunggu ( atau makluk gaib).[1] Begitupun dengan   masyarakat Bajo memandang laut sebagai tempat yang keramat mempunyai penghuni. Penghuni laut adalah Mbo atau dewa laut yang harus di jaga jangan sampai murka, karena jika murka dapat membahayakan kelangsungan hidup mereka.
Masyarakat Bajo juga percaya bahwa laut merupakan kehidupan mereka, laut yang menjadi tempat meniti kehidupan dan mempertahankan diri sambil terus mewariskan budaya leluhur suku Bajo, mereka juga meyakini bahwa nenek moyang mereka berasal dari laut .Orang Bajo juga menganggap laut merupakan tempat yang kramat yang mempunyai penghuni atau yang sering mereka sebut dengan Dapu dilau, Dewa laut yang harus jaga jangan sampai murka dan membahayakan kelangsungan hidup mereka.[2] Budaya, tradisi yang mengacu pada kepercayaan dan praktek yang mengatur bidang kehidupan manusia yang relevan termasuk cara bagaimana budaya-budaya ini dikonseptualisasikan, dibatasi, distrukturkan, dan diatur.[3]
            Salah satu tradisi yang mengacu pada kepercayaan pada Dewa laut yaitu tradisi ritual (Dutai Duata). Ritual ini dilaksankan jika ada masyarkat suku Bajo yang sakit atu mau pergi kelaut dengan waktu yang lama. Dalam proses pelaksanaan dimana Sandro atau ketua adat akan memanggil roh-roh tersebut untuk memasukinya dengan menggunakan benda atau alat yang telah disediakan.  Ritual ini bisa dilaksanakan kapan saja dan oleh siapa saja meskipun itu bukan orang Bajo, dan tidak ada kesepakatan mengenai berapa biaya yang harus dikeluarkan atau pun upah, jika pun ada upah yang diberikan itu hanya sebagai ucapan terima kasih dari keluarga. Dalam pelaksanaanya ritual tersebut semua orang terlibat, jika ada salah seorang yang ingin melaut maka ia harus melakukan ritual ini, ritual ini juga dipercaya sebagai permohonan kesalamatan mereka saat mereka melaut dan mendapatkan tangkapan ikan yang banyak. [4]
Jika salah satu masyarakat suku  Bajo yang telah kembali melaut maka ia harus mealukan ritual dutai duata kembali dan memberikan sediki tangkapan ikanya kepada tetangganya dan masyarakat lainya, hal ini bertujan agar semua masyarakat merasakan hasil tangkapan ikan tersebut, hal ini melambangkan tingginya solidaritas, kebersamaan serta sangat menjunjung tinggi rasa kekeluargaan, saling tolong menolong di kalangan masyarakat suku Bajo.[5] Sesuai observasi awal yang pernah peneliti liat bahwa ritual tersebut sudah berlangsung sabanyak empat kali. 
Dalam proses ritual Dutai duata  yang dilakukan oleh orang Bajo memiliki makna dan simbol tersendiri dari berbagai macam sesajian yang disediakan oleh mereka. Simbol-simbol tersebut dianggap sebagai media atau alat yang terkandung dalam budaya tersebut, yang terealisasikan dalam bentuk bahasa, benda atau barang, warna, suara dan tindakan atau perbuatan yang merupakan simbol-simbol budaya. Proses ini tidak lepas dari sejarah serta maksud dan makna simbolisme tradisi tersebut.
            Seiring berkembangnya zaman, terjadi sebuah pergeseran dalam pelaksanaan ritual dutaiduata  tersebut, dimana alat atau bahan yang digunakan tidak lengkap lagi. Kemajuan zaman telah membawa perubahan-perubahan di segala bidang dalam kehidupan masyarakat desa. Perubahan-perubahan sosial di dalam masyarakat akan selalu ada, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Perubahan sosial menimbulkan dua kemungkinan yaitu perubahan ke arah yang baik (progress) maupun ke arah kemunduran (regress). Kemajuan zaman atau era modernisasi tidak selamanya memberikan dampak positif. Ada kalanya kemajuan zaman justru memberikan dampak negatif. Hilangnya kebudayaaan lama merupakan salah satu dampak negatif dari kemajuan zaman. Dewasa ini meskipun masih ada yang melakukan ritual dutaiduata, tetapi telah terjadi perbedaan pelaksanaan tradisi ritual dutaidauat di masyarakat dahulu dengan sekarang. Kelengkapan dalam pelaksaan, saat ini tidak lagi sama seperti dahulu. 

Sekian Postingan ini, smoga menambah wawasan kita mengenai pergeseran tradisi ritual dutai duata pada masyarakat Bajo. 




[1] Tomi, “ Ritual petik laut dalam arus perubahan sosial di desa Kedungrejo Jawa Timur, skiripsi,Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010, hlm. 1-2
[2]    Bahtiar, “Kearifan Orang Bajo dalam Pengelolaaan Sumber Daya Laut,” Mudra Jurnal Seni Budaya Vol. 27. Nomor. 2 Juli, Tahun 2012, hlm. 180.

[3] . Nita, “ Ritual pongobatan Nyaya Okang   Studi Pada  Masyarakat Bajo,” Skripsi, Universitas  Negeri  Gorontalo, 2015,  hlm. 4.


[4] Robert Zacot, Orang Bajo Suku Pengembara Laut, (Jakarta: Gramedia, 2008), hlm. 198-199
[5] ibid
            
KAJIAN SOSIAL
KAJIAN SOSIAL Assalamualaikum Wr. Wb Abd Rahman Asril, sudah ngeblog dari tahun 2015, dan saat ini mengajar di MTs. Negeri 1 Pohuwato, Gorontalo

Posting Komentar untuk "PERGESERAN TRADISI RITUAL DUTAIDUATA PADA MASYARAKAT SUKU BAJO DI KECAMATAN POPAYATO KABUPATEN POHUWATO"