Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

PEMBERIAN BEBAS BERSYARAT BAGI NARAPIDANA PEMBUNUHAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN


PEMBERIAN BEBAS BERSYARAT BAGI NARAPIDANA PEMBUNUHAN  DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN
KELAS IIA GORONTALO



Oleh :
NURJANA DUNGGIO



ABSTRAK



Nurjana Dunggio, H.11.11.029, Pemberian Bebas Bersyarat Bagi Narapidana Pembunuhan  Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Gorontalo, di bimbing oleh bapak Jupri sebagai pembimbing 1 dan bapak Haritsa sebagai pembimbing 2.

Penelitian ini bertujuan : (1). Untuk menganalisis pemberian bebas bersyarat bagi narapidana pembunuhan  di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Gorontalo. (2).Penelitian ini dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA gorontalo. 
Jenis penelitian yang digunakan ini adalah yuridis sosiologis, yaitu pendekatan yang menekankan pada penelitian di lapangan.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa : (1). Pelaksanaan Pembebasan bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Gorontalo telah berjalan dengan sangat baik dikarenakan Lembaga Pemasyarakatan Gorontalo telah mengikuti sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang (2). Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Gorontalo terkadang akan mengalami hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya.
Bedasarkan hasil penelitian tersebut di rekomendasikan : (1). Pelaksanaan pembebasan bersyarat oleh lembaga pemasyarakatan kelas IIA gorontalo dianggap telah berhasil, karena dilihat dari perbandingan data pembebasan bersyarat di lembaga pemasyarakatan kelas iia gorontalo  dari tahun 2007-2011. (2). Antara yang diusulkan dengan yang terealisasikan mendekati dengan jumlah diusulkan dan jumlah yang terealisasi terus meningkat tiap tahunnya. Hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan pembebasan bersyarat oleh lembaga pemasyarakatan kelas IIA gorontalo antara lain proses di direktorat jenderal pemasyarakatan sangat lama, pihak penjamin bukan dari pihak keluarga, masih memiliki perkara lain diluar, narapidana melanggar hukum disiplin lembaga pemasyarakatan, terdapat hambatan psikologis dari masyarakat dalam penerimaan kembali narapidana.


Kata Kunci : Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat Terhadap Narapidana Pembunuhan.
PENDAHULUAN

          Dalam hukum pidana dikenal adanya sanksi pidana berupa kurungan, penjara, pidana mati, pencabutan hak dan juga merampas harta benda milik pelaku tindak pidana. Menurut Pasal 10 KUHP, jenis pidana yang dapat  dijatuhkan dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana mati, penjara, kurungan (UU No. 20 Tahun 1946) dan denda, sedangkan pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim. Pidana penjara merupakan jalan terakhir (ultimum remidium) dalam sistem hukum pidana yang berlaku, untuk itu dalam pelaksanaannya harus mengacu pada hak asasi manusia mengingat para narapidana memiliki hak-hak dasar yang harus dilindungi, salah satunya hak untuk hidup bebas atau untuk merdeka yang harus dijunjung tinggi keberadaannya.

         Mengenai tujuan pemidanaan di dalam hukum pidana dikenal dengan adanya Teori Pembalasan, Teori Tujuan dan Teori Gabungan. Van Bemmelen seorang ahli pidana menganut teori gabungan mengatakan :

“Pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan ini dimaksudkan mengamankan dan memeliharan tujuan. Jadi pidana dan tindakan bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana ke dalam kehidupan bermasyarakat”.

        Pada zaman penjajahan Belanda tujuan hukuman di Indonesia menggunakan sistem kepenjaraan, dimana perlakuan atau tindakan perlakuan terhadap narapidana bertitik tolak pada pemikiran yang rasional yaitu bahwa manusia yang melanggar hukum adalah sebagai manusia yang jahat bahkan ada kalanya dipandang bukan sebagai manusia. Hal ini tercermin pada sistem perlakuan yang pelaksanaanya bersifat menindas dan bentuk bangunan penjara yang pada umumnya memberikan kesan bahwa sistem pidana yang ditujukan pada narapidana adalah agar mereka patuh dan taat kepada hukum yang berlaku. Pandangan tersebut memang mempunyai tujuan untuk memperbaiki narapidana, akan tetapi fokus perlakuannya ditujukan pada individu Narapidana dengan peningkatan penjagaan dalam penjara secara maksimal dengan isolasi yang ketat serta peraturan-peraturan yang keras. Hal ini bukan saja menumbulkan penderitaan fisik saja tetapi juga penderitaan psikis, karena bukan saja kehilangan kemerdekaannya dalam bergerak tetapi juga mereka kehilangan hak-hak dasar sebagai manusia (Hak Asasi Manusia).

    Setelah kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, dengan mendasarkan pada pandangan hidup bangsa dan Negara Indonesia, yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sistem pemenjaraan dirubah dengan sistem pemasyarakatan. Pada tanggal 27 April 1964 sistem pemasyarakatan diresmikaan sebagai suatu sistem pembinaan narapidana menggantikan sistem kepenjaraan. Dalam sistem pemasyarakatan berpandangan bahwa pemasyarakatan tidak lagi semata-mata sebagai tujuan dari penjara, melainkan juga merupakan suatu sistem serta cara pembinaan terhadap narapidana dengan cara pendekatan dan pengembangan potensi yang ada dalam masyarakat, individu narapidana sehingga nantinya narapidana memiliki keterampilan.  Aturan mengenai sistem pemasyarakatan yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang diundangkan pada tanggal 30 Desember 1995. Dalam Pasal 1 angka 2 menyatakan sebagai berikut :

“Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab”.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa asas dari sistem pemasyarakatan adalah Pancasila sebagai falsafah Negara, sedangkan tujuannya disamping melindungi keamanan dan ketertiban masyarakat juga membina narapidana agar setelah selesai manjalani pidanannya dapat menjadi manusia yang baik dan berguna. Selain mengatur berbagai aspek terait dengan pemasyarakatan sebagaimana telah disebutkan di atas, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan juga mengatur mengenai hak-hak seorang narapidana. Pasal 14 ayat (1) merumuskan sebagai berikut:

Narapidana berhak :

-          melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya

-           mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani

-          mendapatkan pendidikan dan pengajaran

-          mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak

-          menyampaikan keluhan

-          mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang

-          mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan

-          menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya

-          mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)

-          mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga

-          mendapatkan pembebasan bersyarat

-          mendapatkan cuti menjelang bebas

-          mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

      Berdasarkan ketentuan di atas, bahwa salah satu hak dari narapidana adalah memperoleh pembebasan bersyarat. Pembebasan bersyarat menurut Pasal 1 huruf b Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.01-PK.04.10 Tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas adalah proses pembinaan narapidana di luar Lembaga Pemasyarakatan yang dilaksanakan berdasarkan Pasal 15 dan Pasal 16 Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta Pasal 14, 22, dan Pasa1 29 Undang- undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengkaji mengenai pelaksanaan pemberian pembebasan bersyarat kepada narapidana pebunuhan yang sedang menjalani pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Gorontalo.

c. Tujuan Pemidanaan

Pemikiran mengenai tujuan dari suatu pemidanaan yang dianut orang-orang saat ini sebenarnya bukan merupakan suatu pemikiran baru, melaikan sedikit banyak telah mendapatkan dari para-para pemikir berabad- abad yang lalu. Dari pemikiran para pemikir yang telah ada, ternayata tidaklah memiliki kesamaan pendapat, namun pada dasarnya terdapat tiga (3) pokok pikiran tentang tujuan yang akan dicapai dengan adanya suatu pemidanaan, yaitu :

1.      Untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri

2.      Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakuakan kejahatankejahatan

3.      Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakuakan kejahatan-kejahatan lain, yakni penjahatpenjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.  rangka pengembalian terpidana dengan baik ke masyarakat.

 Pengertian pelepasan bersyarat tidak secara tersurat dituliskan dalam KUHP. Ketentuan pelepasan bersyarat dalam KUHP yang ditetapkan dengan K.B. No.33 tanggal 15 Oktober 1955 yang berlaku di Indonesia pada tanggal 1 Januari1918 (vide Stb. 1917-497 jo 645), mengalami perubahan melalui Stb. 1926-251 jo 486. Pada Pasal 15 lama ditentukan bahwa pelepasan bersyarat diterapkan kepada penjatuhan pidana penjara yang panjang. Pelepasan bersyarat akan diberikan apabila tiga perempat dari pidananya telah dijalani dalam penjara, yang sekurangkurangnya harus tiga tahun. Sedangkan pada Pasal 15 KUHP yang diubah dengan Stb 1926-251 jo 486, yang merupakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku hingga sekarang, pelepasan bersyarat dapat diberikan kepada terpidana yang telah menjalani 2/3 (dua per tiga) dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, yang sekurangkurangnya harus 9 (sembilan) bulan, dimana ketentuan ini juga berlaku pada saat istilah pembebasan bersyarat digunakan. Selanjutnya, dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pelepasan bersyarat, yaitu KUHP dan Ordonansi Pelepasan Bersyarat (Voorwaardelijke Invrijheidsteeling) S. 1917-749, tidak terdapat ketentuan mengenai bimbingan dan pembinaan terhadapterpidana yang menjalani pembebasan bersyarat. Hal tersebut berbeda pada saat istilah pembebasan bersyarat digunakan, yakni terdapat pengaturan mengenai bimbingan dan pembinaan dalam ketentuan pembebasan bersyarat, yaitu dalam UndangUndangNomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang menyatakan bahwa terpidana yang menjalani pembebasan bersyarat wajib mengikuti bimbingan yang diberikan oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS).

Berdasarkan dari tujuan daripada penjatuhan pidana selain pembalasan kepada pelaku atas kejahatannya juga bermaksud mengamankan masyarakat, dari kedua tujuan tersebut juga bermaksud untuk mempersiapkan dan memberikan narapidana tersebut bekal saat dikembalikan ke dalam masyarakat.

Pembinaan narapidana yang dilaksanakan berdasarkan sistem kemasyrakatan diharapkan mampuh untuk mencapai tujuan-tujuan dari pemidanaan, untuk mewujudkan tujuan tersebut salah satu upayanya adalah dengan pemberian pembebasan bersyarat. Pelepasan bersyarat pada awalnya dikenal di dalam Wetboek Van Strafrecht (WvS) Belanda, kemudian dirubah dengan Stb. 1926 No. 251 jo 486 yang merupakan kelanjutan dari Stb. 1917 No. 749 yang saat ini dikenal sebagai Ordonnantie Op De Voorwaardelijke Invrjheids Stelling.

Lamintang mengatakan bahwa pembebasan bersyarat dibagi menjadi dua golongan, yaitu :

1)      Pembebasan bersyarat dari kewajiban untuk menjalankan pidana penjara

dalam suatu lembaga pemasyarakatan seperti yang diatur dalam Pasal 15 sampai Pasal 17 KUHP, lebih lanjut setelah diatur dalam ordonansi tanggal 27 Desember 1917, Stb nomor 749 yang juga dikenal sebagai ordonansi de voorwardelijjke invrijheidstelling atau peraturan mengenai Pembebasan bersyarat.

2)      Pembebasan bersyarat dari kewajiban untuk mendapatkan pendidikan

dalam suatu lembaga pendidikan suatu Negara seperti yang dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2) dan Pasal 69 ayat (1) dari ordonansi pada tanggal 21 Desember 1917, Stb nomor 741 yang juga dikenal sebagai dwangopveding regeling atau peraturan mengenai pendidikan paksa.

Pembebasan yang akan dijelaskan lebih lanjut adalah pembebasan bersyarat dari kewajiban untuk menjalankan pidana penjara sebagai mana telah diatur dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 16 KUHP.

Dalam praktek dibidang hukum khususnya hukum pidana sering dijumpai berbagai terjemahan yang berbeda-beda mengenai pembebasan bersyarat. Dalam bahasa Belanda digunakan istilah voorwardelijje invrijheidstelling yang jika diterjemahkan artinya Pembebasan Bersyarat.       

BPHN menggartikannya dengan istilah pelepasan bersyarattanpa menyadari bahwa istilah tersebut dapat menimbulkan salah penafsiran terutama bagi orang awam, karena istilah pelepasan ini tidak lazim digunakan dalam hukum pidana dan BPHN sendiri sering mengalami kesulitan dalam penggunaannya.

Istilah pembebasan bersyarat akan Nampak lebih lazim digunakan dalam hukum pidana jika dalam Pasal 191 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 192 ayat (1), Pasal 183 ayat (2) huruf b KUHP dan lain-lain.33 Dalam KUHP kita tidak ada Pasal yang menyebutkan pengertian pembebasan bersyarat, KUHP hanya menyebutkan mengenai syarat-syarat bahwa seorang narapidana berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.

 Pengertian pembebasan bersyarat ini akan nampak lebih jelas jika kita melihat peraturan perundang-undangan diluar KUHP dan pendapat para pakar bidang ilmu hukum.

Pembebasan bersyarat menurut ketentuan Pasal 1 huruf b Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.01-PK.04.10 Tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas adalah :

Pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas adalah proses pembinaan narapidana di luar lembaga pemasyarakatan, berdasarkan ketentuan Pasal 15 dan 16 KUHP serta Pasal 14, Pasal 22 dan Pasal 29 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

       Mengenai pengawasan terhadap narapidana yang sedang menjalankan pembebasan bersyarat dilakukan oleh Kejaksaan Negeri dan BAPAS. Pengawasan tersebut dimaksudkan untuk tetap memonitor segala perbuatan narapidana dalam menjalani cuti yang diberikan. Apabila nantinya dalam pelaksanaan bebas bersyarat terdapat narapidana ternyata hidup secara tidak teratur, bermalas-malasan berkerja, bergaul dengan residivis, mengulangi tindak pidana, menimbulkan keresahan dan melanggar ketentuan mengenai pelaksanaan pembebasan bersyarat maka pembebasan yang di berikan dicabut kembali. 

itulah penjelasan singkat mengenai pemberian kebebasan bersyarat, untuk lebih lengkapnya silahkan klik https://www15.zippyshare.com/v/gb8TO9lI/file.html terimakasih telah mengunjungi artikel saya, semoga bermanfaat bagi kita semua.



KAJIAN SOSIAL
KAJIAN SOSIAL Assalamualaikum Wr. Wb Abd Rahman Asril, sudah ngeblog dari tahun 2015, dan saat ini mengajar di MTs. Negeri 1 Pohuwato, Gorontalo

Posting Komentar untuk "PEMBERIAN BEBAS BERSYARAT BAGI NARAPIDANA PEMBUNUHAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN "