BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Konsep Multikultural
Menurut Bikhu Parekh, Kata
mutikulura berasal dari kata multi (plural) dan kultural
(tentang budaya), multi-kulturalisme mengisyaratkan pengakuan terhadap realitas
keragaman kultural, yang berarti mencakup baik keberagaman tradisional seperti
keberagaman suku, ras, ataupun agama, maupun keberagaman bentuk-bentuk
kehidupan (sub kultur) yang
terus bermunculan di setiap tahap sejarah kehidupan masyarakat.[1]
Konsep masyarakat majemuk atau
masyarakat plural seringkali dibicarakan
bersama-sama dengan konsep masyarakat multikultural, karena keduanya
sama-sama menggambarkan keanekaragaman
sosial dan kebudayaan. Akan tetapi, apabila istilah plural dan multikultural ini ditambahi imbuhan isme
maka pengertian keduanya akan berbeda. Pluralisme berarti pemahaman atau cara
pandang keanekaragaman yang menekankan entitas perbedaan setiap masyarakat satu
sama lain dan kurang memperhatikan interaksinya, sedangkan multikulturalisme
adalah pemahaman dan cara pandang yang menekankan interaksi dengan memperhatikan keberadaan setiap
kebudayaan sebagai entitas yang memiliki hak-hak yang setara[2]. Dari
konsep multikulturalisme inilah kemudian muncul gagasan normatif mengenai
kerukunan, toleransi, saling
Parekh membedakan lima model multikulturalisme, antara lain :
1. Multikulturalisme
isolasionis, yaitu masyarakat yang berbagai kelompok kulturalnya menjalankan
hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi minimal satu sama lain.
2. Multikulturalisme
akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan yang membuat
penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum
minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan
ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan
kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan mereka.
Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur dominan.
Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara Eropa.
3. Multikulturalisme otonomis, yaitu masyarakat
plural yang kelompok-kelompok kultural utamanya berusaha mewujudkan kesetaraan
(equality) dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam
kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. Perhatian pokok kultural
ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama
dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok dominan dan berusaha
menciptakan suatu masyarakat yang semua kelompoknya bisa eksis sebagai mitra
sejajar.
4. Multikulturalisme kritikal/interaktif, yakni
masyarakat plural yang kelompok-kelompok kulturalnya tidak terlalu terfokus (concerned)
dengan kehidupan kultural otonom, tetapi lebih membentuk penciptaan kolektif yang
mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif khas mereka.
5. Multikulturalisme
kosmopolitan, yaitu masyarakat plural yang berusaha menghapus batas-batas
kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat tempat setiap individu
tidak lagi terikat kepada budaya tertentu, sebaliknya secara bebas terlibat
dalam percobaan-percobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan
kultural masing-masing.[4]
2.2 Konsep Etnisitas Etnis
Cliford Geertz menyebutkan masyarakat majemuk merupakan
masyarakat yang terbagi ke dalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri
sendiri-sendiri, dan masing-masing sub sistem terikat ke dalam oleh
ikatan-ikatan yang bersifat primodial. Dilihat dari sudut pandang perspektif
sosiologi dan antropologi struktur masyarakat masyarakat Indonesia dapat
dikatakan mencerminkan sistem sosial yang kompleks. Secara horizontal ditandai
oleh kenyataan dengan adanya kesatuan-kesatuan etnisitas berdasarkan perbedaan
suku bangsa, adat, agama dan ciri-ciri kedaerahan lainnya. Sedangkan secara
vertikal ditandai oleh adanya perbedaan antar lapisan sosial yang cukup tajam.[5]
Menurut
Asmore (2001) kata etnis pada dasarnya merupakan kategori sosial atau
identifikasi sosial. Artinya, etnis adalah konsep yang diciptakan oleh
masyarakat berdasarkan ciri khas sosial yang dimiliki sekelompok masyarakat
yang membedakannya dengan kelompok masyarakat yang lain. Etnisitas atau
kesuku bangsaan merupakan fenomena dari pengelompokan etnik atau suku-suku
bangsa baik itu secara langsung maupun tidak langsung tentang kehidupan
manusia.
Ada pendapat
lain yang mengatakan bahwa Etnisitas adalah kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan sejarah, nenek
moyang, asal usul dan bahasa yang tercermin dalam simbol-simbol yang khas,
seperti agama, pakaian dan tradisi. Secara
singkat, etnisitas didefinisikan sebagai kelompok masyarakat yang secara budaya
berbeda dari kelompok masyarakat yang lain. Suatu bangsa dan negara bisa jadi
memiliki beragam etnis yang masing-masing memiliki ciri yang khas dan menonjol
yang dengan mudah dapat dibedakan dari kelompok etnis yang lain.[6]
Menurut Bath, sudut pandang batasan setiap kelompok etnik merujuk
kepada batas etnik yang mengacu kepada suatu batas kelompok, bukan pada
sifat-sifat budaya yang ada di dalamnya. Batas-batas itu adalah batas-batas
kelompok etnik yang ditekankan kepada batas-batas yang sifatnya sosial,
walaupun tidak menutup pula untuk mengkaitkannya dengan batas wilayah. Batas
sosial muncul ketika dalam interaksi sebuah kelompok etnik ingin mempertahankan
identitasnya, sehingga memerlukan batas-batas dimana batas-batas tersebut
berfungsi untuk membuat kriteria bagi penentuan keanggotaan seseorang atau
kelompok dalam kelompok etniknya. Jadi kelompok etnik bukan semata-mata
ditentukan oleh wilayah yang menjadi posisinya, tetapi oleh berbagai macam cara
yang digunakan untuk mempertahankannya, dan dilakukan dengan cara pengungkapan
dan pengukuhan yang sifatnya terus-menerus, dan dapat dipelajari. Atau semacam
nilai yang menjadi aturan kesepakatan permainan yang diakui dan dilaksanakan
bersama anggota kelompok etnik tersebut.[7]
[1] Said Abdullah. 2013. Membangun
Masyarakat Multikultural. Bandung : Taman Pustaka. Hlm. 31
[2] Achmad Fedyani Syaifuddin. 2006. Membumikan Multikulturalisme Di
Indonesia, Jurnal Antropologi Sosial Budaya. Vol. 2 No.1. Issn : 0216-843x Hlm., 3.
[3]
Ibid., hlm. 40
[4]Ana Irdayaningsih. Kajian Filosofis Tentang Multukulturalisme
Di Indonesia, Simposium II Diselenggarakan oleh Fakutas Ilmu Sosial
dan Politik UNHAS 15 Maret 2013. Hlm 2-3
[5] Vita Fitria. 2012. Internalisasi
dan Kerukunan Antarumat Beragama Dalam Masyarakat. Jurnal Penelitian Humaniora Vol. 17 No. 2. hlm 25.
[6] Sibarani,
Berlin, Bahasa, Etnisitas dan
Potensinya Terhadap Konflik Etnis, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Fakultas Sastra
Universitas Negeri Medan, 20 Maret Tahun 2014 hlm 2.
[7] Irene
Tarakanita dan Maria Yuni Megarini Cahyono. 2013. Komitmen Identitas Etnik
Dengan Eksistensi Budaya Lokal. Jurnal Humaniora. Vol. 2 No.
Tahun 2013. Hlm. 99
Posting Komentar untuk "BAB II KAJIAN PUSTAKA"