Integrasi Sosial Masyarakat Antar Etnik
Indonesia
merupakan negara yang kaya akan keberagaman etnis yang terdapat di daerah
masing-masing. Sehingga dapat dikatakan pula bahwa masyarakat Indonesia
merupakan masyarakat yang majemuk, yang ditandai oleh adanya suku-suku bangsa
yang masing-masing mempunyai cara hidupp dan kebudayaan yang berbeda-beda.
Tetapi, secara bersama-sama hidup secara berdampingan dan memiliki hubungan
kekerabatan antara yang satu dengan yang lainnya. Geertz, menyebutkan bahwa terdapat lebih dari 300
suku bangsa yang ada di Indonesia di mana setiap suku itu memiliki bahasa dan
identitas kultural berbeda yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Tiap
etnik umumnya menempati wilayah geografis tertentu yang merupakan suku bangsa
asli dan dikategorikan sebagai etnik pribumi[1].
Bahkan
Skinner, menyebutkan bahwa adanya lebih 35 suku bangsa di Indonesia,
masing-masing dengan bahasa dan adat yang tidak sama. Adanya perbedaan
kebudayaan diantara masing-masing suku bangsa di Indonesia, pada khakekatnya
disebabkan oleh adanya perbedaan sejarah perkembangan kebudayaan masing-masing
dan oleh adaptasi terhadap lingkungan masing-masing. Kemajemukan masyarakat
Indonesia menjadi lebih kompleks lagi karena adanya sejumlah warga
negara/masyarakat Indonesia yang tergolong sebagai keturunan orang asing yang
hidup di dalam dan menjadi sebagian dari masyarakat Indonesia. Mereka ini
mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda dengan kebudayaan-kebudayaan yang ada
pada umumnya yang dipunyai orang Indonesia.
Integrasi
adalah pola hubungan yang menekankan persamaan dan bahkan saling
mengintegrasikan antara satu kelompok dengan yang lain. Pola hubungan itu hanya
terjadi apabila orang perorang atau kelompok-kelompok manusia saling bekerja
sama, saling berbicara untuk mencapai tujuan bersama. Dalam hubungan sosial
berbagai komunitas yang berbeda latar belakang kebudayaan tersebut, akan
menghasilkan dua kemungkinan yaitu baik yang bersifat positif maupun negatif.
Integrasi sosial yang positif akan timbul manakala pertemuan berbagai etnik
dalam masyarakat majemuk tersebut mampu menciptakan suasana hubungan sosial
yang harmonis. Integrasi sosial yang bersifat negatif muncul manakala dalam
melakukan hubungan sosial yang tidak harmonis karena adanya perbedaan sikap dalam
kehidupan bersama. Menurut soekanto, integrasi sosial merupakan suatu kondisi di mana kelompok-kelompok etnis untuk
beradaptasi dan menjadi komformitas terhadap kebudayaan mayoritas, namun tetap mempertahankan budaya
mereka sendiri[2].
Etnis
mengacu pada pola karakter yang dimiliki oleh suku bangsa ras tertentu. Oleh
karena itu etnisitas seringkali dianggap sebagai budaya oleh Phninney. Dengan
kata lain, jika kita membicarakan etnisitas maka kita tidak bias melepaskan
diri dari pembicaraan mengenai budaya etnis yang bersangkutan. Asumsi yang
paling umum dipakai adalah bahwa norma-norma, nilai-nilai, sikap-sikap, dan
prilaku yang ditampilkan oleh individu kelompok etnis tertentu merepukan tripikal
etnis yang bersangkutan di mana individu itu berasal. Prilaku tripikal tersebut
berakar pada budaya yang sudah diturunkan dari satu generasi ke generasi
berikutnya.
Dalam
menjalankan kehidupan bersama, berbagai etnik yang berbeda latar belakang
kebudayaan tersebut akan terlibat dalam suatu hubungan timbal balik yang
disebut interaksi sosial yang pada gilirannya akan berkembang kepada interalasi
sosial. Interaksi sosial merupakan syarat mutlak bagi terjadinya aktifitas
sosial. Dalam aktifitas sosial akan
terjadi hubungan sosial timbal balik (social interrelationship)
yang dinamik antara orang dengan orang, orang dengan kelompok dan kelompok
dengan kelompok. Soekanto (2013), menyatakan perubahan dan perkembangan
masyarakat yang mewujudkan segi dinamiknya, disebabkan karena warganya
mengalami hubungan satu dengan lainnya, baik dalam bentuk perseorangan maupun
kelompok sosial. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terjadi proses sosial
yaitu cara-cara berhubungan yang dilihat apabila orang perorang dan
kelompok-kelompok sosial saling bertemu dan menentukan sistem serta
bentuk-bentuk hubungan tersebut.
Interakasi sosial adalah suatu
proses hubungan – hubungan sosial antaraindividu, Seseorang ( individu ) dengan
kelompok dan suatu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Kehidupan bersama
dalam suatu kelompok atau antarindividu di lingkungan yang diawali
oleh interaksi sosial yang menghubungkan mereka. Hubungan ini
memerlukan proses sosial timbal
balik dan saling mempengaruhi, sehingga proses ini lah yang kemudian menjadi
patokan hubungan sosial terjadi di dalam suatu masyarakat.
Pola-pola
hubungan sosial antar etnik dikemukakan Benton, beberapa pola hubungan tersebut
masing-masing ditandai oleh spesifikasi dalam proses kontak sosial yang terjadi,
yaitu akulturasi, dominasi, paternalisme, pluralisme dan integrasi. Lebih
lanjut dijelaskan bahwa akulturasi terjadi jika dua kelompok etnik mengadakan
kontak dan saling pengaruh mempengaruhi. Dominasi terjadi jika suatu kelompok
etnik menguasai kelompok lain. Paternalisme yaitu merupakan hubungan antar
kelompok etnik yang menampakkan adanya kelebihan satu kelompok terhadap
kelompok yang lain, tanpa adanya unsur dominasi. Pluralisme yaitu merupakan
hubungan1 yang terjadi diantara sejumlah kelompok etnik yang di dalamnya
mengenal adanya pengakuan persamaan hak politik dan hak perdata bagi
kelompok-kelompok masyarakat yang berkaitan.
Keberagaman
etnis yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia, merupakan simbol kekayaan akan
budaya. Perlu, kehati-hatian dalam menjaga keharmonisan hubungan antar etnis
tersebut, agar dapat menciptakan tatanan kemasyarakatan yang integratif dan
dinamis, sebagaimana yang dicita-citakan oleh makna yang tertuang dalam Bhineka
Tunggal Ika. Akan tetapi, kemajemukan etnis tersebut dapat menghasilkan
konflik, apabila keberagaman tersebut tidak ditopang dengan sikap yang
bijaksana dari setiap individu. Sehingga, yang muncul kemudian adalah prasangka
sosial yang hanya menghasilkan disintegrasi sosial.
Komunikasi
antar budaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan
penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Dalam keadaan demikian,
kita diharapkan kepada masalah-masalah yang ada dimana suatu pesan disandi
dalam suatu budaya dan harus disandi balik dalam budaya lainnya[3].
Dalam penelitian lain, ada yang mengatakan bahwa komunikasi antar etnik yang
negatif akan menghambat interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat yang
multietnik, yang pada gilirannya akan dapat pula menyebabkan terhambatnya
proses menuju integrasi Nasional. Akhirnya, suatu integrasi adalah mengandung
kendala psikologis, antara lain berkaitan dengan tingkat kepuasan tertentu dari
suatu suku-bangsa atau golongan. Oleh karenanya dalam suatu upaya
mewujudkan integrasi, muncul pandangan yang menilai apakah itu suatu agreement
(permufakatan) ataukah congruency (penyesuaian), terutama yang
berkaitan apakah sentripetal ataukah sentrifuga[4].
Apabila
terjadi disagreement atau discrepancy (ketidaksesuaian) maka berarti kelompok
superordinat menang atas kebijaksanaan yang bersifat sentripetal; padahal
kelompok subordinat lebih menghendaki yang bersifat sentrifugal. Jika hal ini
terjadi maka akan timbul konflik yang menyebar luas.
Menurut S.N. Eisenstadt, interaksi
sosial merupakan parameter sosial karena interaksi sosial merupakan batas-batas
kelembagaan dan sosialisasi dari kolektivitas. Dalam interaksi sosial yang
terpenting adalah sejauh mana individu atau kelompok memahami diri sendiri. Ada
dua kemungkinan dari sikap mereka yaitu berperan sebagai penerima yang pasif
dalam hubungannya dengan tantangan tertentu atau sebagai partisipator aktif
dalam interaksi tersebut.[5]
Bahkan individu diukur dalam interaksi sosialnya dengan barometer sejauh mana
mereka berusaha untuk mengubah sikapnya, mengendalikan diri atas lingkungannya,
saling mempengaruhi, dan beberapa besar tanggung jawab mereka untuk memelihara
tatanan tersebut.
Contoh interaksi sosial antara kelompok
– kelompok manusia terjadi pula di dalam masyrakat. Interaksi sosial tersebut
lebih mencolok ketika terjadi suatu benturan antara kepentingan
perorangan dengan kepentingan kelompok. Misalnya, dikalangan banyak suku
bangsa di Indonesia berlaku suatu tradisi yang telah melembaga dalam diri
masyarakat sosial bahwa dalam perkawinan, pihak laki – laki harus memberikan
mas kawin kepada pihak perumbuan, biasanya dala jumlah yang besar. Bagi
masyarakat yang akan berinteraksi, pastinya memiliki hambatan, terutama
interaksi yang dilakukan karena berbeda etnik atau suku dalam masyarakat.
Seringkali mereka selalu menampilkan sikap primordialisme yang selalu melekat
pada dirinya. Sehingganya dalam berinteraksi seringkali mereka gagal.
Menurut Horton dan Hunt, ada dua hal
yang dapat menghambat terjadinya interaksi sosial yang baik dan ideal antar
kelompok etnik, yaitu prasangka sosial (social
prejudice) dan diskriminasi (social
discrimination). Yang pertama adalah suatu penilaian yang dinyatakan
sebelum mengetahui fakta secara utuh dan benar, sedangkan yang kedua adalah
cara memperlakukan orang berdasarkan ciri – ciri individu. Sebagaiman dikutip
Gerungan, yang mengatakan bahwa prasangka sosial berkaitan dengan persepsi
orang tentang seseorang atau kelompok lain dan sikap serta perilaku terhadap
mereka. Prasangka terhadap anggota suatu kelompok sosial ternya merupakan jenis
sikap yang secara sosial sangat merusak hubungan antar kelompok[6].
Dalam hubungan sosial, berbagai komunitas yang berbeda latar
belakang kebudayaan tersebut, akan menghasilkan dua kemungkinan yaitu baik yang
bersifat positif maupun negatif. Interaksi sosial yang positif akan timbul
manakala pertemuan berbagai etnik dalam masyarakat majemuk tersebut mampu menciptakan suasana hubungan sosial
yang harmonis. Interaksi sosial yang bersifat negatif muncul manakala dalam
melakukan hubungan sosial yang tidak harmonis karena adanya perbedaan sikap
dalam kehidupan bersama.
Seperti halnya yang ada di Desa Lembah
Tompotika Kecamatan Bualemo Kabupaten Banggai, yang mana masyarakat yang ada di
desa ini sangatlah beragam, sehingga memiliki identitas budaya yang sangat
berbeda satu sama lainnya. Sehingga rasa solidaritas diantara mereka terkadang
berkurang, karena bertolak belakang dengan kebudayaan yang mereka miliki.
Terdapat beberapa etnik yang da di Desa
Lembah Tompotika ini, diantaranya, Saluan sebagai penduduk asli, kemudian
Gorontalo, Bajo, Bugis, Jawa dan Lombok. Yang menarik adalah kelompok ini
mempunyai tempat yang berbeda-beda tidak berbaur dengan sekelompok masyarakat
lainnya, terkecuali Saluan dan Gorontalo, yang mana penduduk dari kedua suku
ini telah banyak yang menikah dan melahirkan keturunannya. Sehingga dapat
dikatakan bahwa kedua suku ini telah lama menjalin hubungan kekerabatan.
Sedangkan etnik Jawa, Lombok, Bugis itu
memiliki tempat yang berbeda-beda. Etnik jawa dengan kelompoknya sendiri,
begitu juga Bugis, yang mempunyai tempatnya sendiri. Dan bahkan etnik Lombok
terbagi menjadi dua, ada Lombok Barat dan lombok Timur. Apalagi etnik Bajo,
yang tempat tinggalnya di pesisir pantai. Tentu mereka sangat cocok dengan itu,
karena mayoritas pekerjaan mereka adalah nelayan. Meskipun tempat tinggal
mereka berkelompok, kehidupan masyarakat yang ada di desa Lembah Tompotika
sangatlah harmonis, karena sistem kekerabatan ataupun solidaritas masyarakat
sangatlah tinggi, meskipun terkadang potensi konflik aka nada karena kesalahan
dalam berinteraksi.
Kita ketahui bersama bahwa dalam
menjalankan kehidupan bersama dalam masyarakat, apalagi dalam masyarakat itu
memiliki etnis yang berbeda-beda, memungkinkan adanya sikap prasangka terhadap
budaya lain, hal ini dikarenakan masyarakat yang berbeda etnis sangat rentan
dengan sikap primordialisme yang menganggap kebudayaannya yang terbaik
dibandingkan dengan kebudayaan yang lainnya. Sebagaimana yang saya kutip dari
Soelaeman, yang mengatakan bahwa integrasi masyarakat akan terwujud apabila
masyarakat mampu mengendalikan prasangka sehingga tidak terjadi konflik, tidak
banyak sistem yang tidak saling melengkapi dan tumbuh integrasi tanpa paksaan[7].
Oleh karena itu, untuk mengamati dimensi kemajemukan suatu masyarakat dapat
dilakukan dengan melihat jumlah kelompok yang berbeda kebudayaan, konsensus
anggota-anggota masyarakat terhadap nilai yang mengikat seluruh warga
masyarakat. Sama halnya dengan masyarakat yang ada di desa Lembah Tompotika,
dimana masyarakat yang ada di desa ini seperti yang saya katakan sebelumnya
bahwa masyarakat memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Sehingga untuk mencapai
integrasi yang sempurna tidaklah mudah. Untuk itu masyarakat harus
menghilangkan sikap prasangka sehingga akan tercapai hubungan yang harmonis.
Ruang bersama pada umumnya
terbentuk apabila terdapat aktivitas dari masyarakat pada suatu tempat yang
membutuhkan wadah untuk dapat menampung aktivitas tersebut. Wadah tersebut
berdasarkan kesadaran dari masing-masing individu diusahakan untuk dijadikan suatu
ruang bersama. Ruang bersama secara otomatis menjadi salah satu pusat interaksi
antar masyarakat. Pusat-pusat interaksi ini kemudian menciptakan suatu pola
ruang interaksi masyarakat pada suatu wilayah. Hal serupa yang ada di desa
Lembah Tompotika untuk menyatukan dan untuk meningkatkan
kebersamaan masyarakat yang multi etnik ini.
Hubungan sosial masyarakat
yang berada di desa Lembah Tompotika sangat terlihat jelas bahwa didalam
masyarakat memiliki etnik yang berbeda-beda dan berkelompok-kelompok. Fakta
yang kita lihat bahwa masyarakat di desa Lembah Tompotika hidup berkelompok dan
memiliki perbedaan, akan tetapi mereka saling menghargai dan menghormati
perbedaan yang ada, mulai dari bahasa mereka, agama dan suku mereka sendiri.
Kehidupan masyarakat desa Lembah Tompotika
jarang terjadi konflik antar etnis, karena masyarakat sangat menjunjung
tinggi nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi aturan dan displin yang telah
di buat dalam desa.
[1] Amri Marzali, “Kemajmukan Kebudayaan Nasional Indonesia, “ Jurnal Kebudayaan Vol. 26 No. 3 Tahun
2014, hlm. 257
[2] Soejono Soekanto, Sosiologi
Suatu Pengantar, (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2013), hlm. 50
[3] Deddi Mulyana
dan Jalaluddin Rakhmat (PT. Remaja Rosdakarya: Bandung ,1998), Komunikasi Antarbudaya (Panduan
Berkomunikasi Dengan Orang-orang Berbeda Budaya), hlm. 20
[4] Sahrain Bumulo, “Keserasian
Hubungan Antar Etnik, “ Hasil
Penelitian Individu Pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian FIS UNG Tahun
2012, hlm 3
[5] Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial
Dasar Teori dan Konsep Ilmu Sosial, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2008),
hlm 123
[6] Fajrudin Fatwa, “ Doktrin Konflik dan Integrasi Sosial, “ Jurnal Humaniora, Vol. 11 No. 1 Tahun
2013, hlm. 55-56
[7] Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial
Dasar Teori dan Konsep Ilmu Sosial, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2008),
hlm 299
Posting Komentar untuk "Integrasi Sosial Masyarakat Antar Etnik"