STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT JAWA
Mengkaji tentang masalah di atas, tidak terlepas dari pengaruh dari seorang tokoh yang bernama Clifford Geertz. Geerts menyatakan bahwa kebudayaan kebudayaan sebagai suatu sistem makna dan simbol yang disusun dalam pengertian di mana individu-individu mendefinisikan dunianya, menyatakan perasaannya dan memberikan penilaian-penilaiannya, suatu pola makna yang kirimkan secara historik yang diwujudkan di dalam bentuk-bentuk simbolik melalui sarana di mana orang-oarang mengkomunikasikan, mengabadikannya, dan menmgembangkan pengtahuan dan sikap-sikapnya ke arah kehidupan; suatu kumpulan peralatan simbolik untuk mengatur perilaku. Karena kebudayaan merupakan suatu sistem simbolik, maka proses budaya haruslah dibaca, diterjemahkan, dan diinterpretasikan.
Kebudayaan
bukanlah sebatas pola perilaku yang nampak. Karena kebudayaan merupakan sebuah
teks maka ia perlu ditafsirkan agar tertangkap makna yang terkandung di
dalamnya. Kebudayaan bagi Geertz adalah jaringan makna simbol yang perlu
diuraikan dalam sebuah deskripsi mendalam. Struktur sosial desa biasanya
diasosiasikan kepada para petani, pengrajin dan buruh kecil yang penuh dengan
tradisi animisme upacara slametan, kepercayaan terhadap makhluk halus, tradisi
pengobatan, sihir dan magic menunjuk kepada seluruh tradisi keagamaan abangan.
Agama menurut Geertz merupakan nilai-nilai dari suatu budaya, dimana
ia melihat nilai-nilai tersebut ada dalam suatu kumpulan makna yang terkandung
dalama budaya tertentu. Dimana dengan kumpulan makna tersebut, masing-masing
individu menafsirkan pengalamannya dan mengatur tingkah lakunya. Sehingga
dengan nilai-nilai tersebut pelaku dapat mendefinisikan dunia dan pedoman apa
yang akan digunakannya.
Geertz membagi masyarakat jawa menjadi 3 bagian, yaitu abangan,
santri dan priayi. Dimana abangan abangan oleh Clifford Geertz
diterapkan pada kebudayaan orang desa, yaitu para petani yang kurang terpengaruh
oleh pihak luar dibandingkan dengan golongan-golongan lain di antara penduduk.
Adapun istilah santri diterapkan pada kebudayaan muslimin yang
memegang peraturan dengan keras dan biasanya tinggal bersama di kota dalam
perkampungan dekat sebuah masjid yang terdiri dari para pedagang di
daerah-daerah yang lebih bersifat kota. Istilah priyayi
diterapkannya pada kebudayaan kelas-kelas tertinggi yang pada umumnya merupakan
golongan bangsawan berpangkat tinggi atau rendah.
Pembagian tersebut mndapat kritikan dari beberapa
ahli, salah satunya adalah Harsja W. Bachtiar pembagian
tersebut kurang tepat, karena klasifikasi abangan dan santri
selalu dikaitkan dengan perilaku keagamaan masyarakat. Seorang santri lebih
taat kepada agama dibandingkan dengan seorang abangan, sedangkan ukuran
ketaatan itu tergantung kepada nilai-nilai pribadi orang-orang yang menggunakan
istilah-istilah itu. Demikian juga istilah priyayi tidak bisa dianggap sebagai
kategori dari klasifikasi yang sama, karena ada orang-orang priyayi yang taat
kepada agama, dan karenanya ia disebut santri, dan ada orang-orang priyayi yang
tidak taat atau tidak seberapa memperhatikan soal-soal agama, dan karenanya ia
disebut abangan. Istilah priyayi biasanya diperuntukan kepada orang-orang yang
memiliki status sosial tertentu yang berbeda dari rakyat biasa yang
disebut wong cilik, wong widah atau kaum mayoritas,
dan wong tani.
Sementara
menurut Koentjaraningrat (1963) telah
menggambarkan stratifikasi Jawa dengan mencoba menganalisa dan membuat perbedaan
yang jelas antara pembagian-pembagian masyarakat Jawa yang horisontal dan
vertikal. Menurutnya orang jawa sendiri membedakan empat tingkat sosial sebagai
stratifikasi status; yaitu dhara (bangsawan), priyayi (birokrat),
wong dagang atau saudagar (pedagang) dan wong cilik
(orang kecil, rakyat kecil).
Pada
masyarakat Jawa, aliran ideologi berbasis pada keyakinan keagamaan. Abangan
adalah mewakili tipe masyarakat pertanian perdesaan dengan segala atribut
keyakinan ritual dan interaksi-interaksi tradisional yang dibangun diatas pola
bagi tindakannya. Salah satu yang mengedepan dari konsepsi Geertz adalah
pandangannya tentang dinamika hubungann antara Islam dan masyarakat Jawa yang
sinkretik. Sinkretisitas tersebut nampak dalam pola dari tindakan orang Jawa
yang cenderung tidak hanya percaya terhadap, hal-hal gaib dengan seperangkat
ritual-ritualnya, akan tetapi juga pandangannya bahwa alam diatur sesuai dengan
hukum-hukumnya dengan manusia selalu terlibat di dalamnya. Penggunaan
numerologi yang khas Jawa itu menyebabkan adanya asumsi bahwa orang jawa tidak
dengan segenap fisik dan batinnya ketika memeluk Islam sebagai agamanya. Di
sinilah awal mula “perselingkuhan” antara dua keyakinan: Islam dan budaya Jawa.
Buku sumber yang ini apa ya kalo boleh tau? "Sementara menurut Koentjaraningrat (1963) telah menggambarkan stratifikasi Jawa dengan mencoba menganalisa dan membuat perbedaan yang jelas antara pembagian-pembagian masyarakat Jawa yang horisontal dan vertikal. Menurutnya orang jawa sendiri membedakan empat tingkat sosial sebagai stratifikasi status; yaitu dhara (bangsawan), priyayi (birokrat), wong dagang atau saudagar (pedagang) dan wong cilik (orang kecil, rakyat kecil)."
BalasHapusdari penjelasan di buku tersebut, beliau mengatakan bahwa masyarakat jawa pada umumnya terbagi menjadi 3 bagian, sebagaimana yang telah disebutkan dalam tulisan di atas. dimana ke tiga bagian tersebut bisa dikatakan sebagai statifikasi yang sangat melekat pada masyarakat jawa
HapusBuku sumber yang ini apa ya kalo boleh tau? "Sementara menurut Koentjaraningrat (1963) telah menggambarkan stratifikasi Jawa dengan mencoba menganalisa dan membuat perbedaan yang jelas antara pembagian-pembagian masyarakat Jawa yang horisontal dan vertikal. Menurutnya orang jawa sendiri membedakan empat tingkat sosial sebagai stratifikasi status; yaitu dhara (bangsawan), priyayi (birokrat), wong dagang atau saudagar (pedagang) dan wong cilik (orang kecil, rakyat kecil)."
BalasHapusbuku clifford geertz tentang masyarakat multi etnik cetakan ke dua
BalasHapusyakusa
BalasHapusdari penjelasan di buku tersebut, beliau mengatakan bahwa masyarakat jawa pada umumnya terbagi menjadi 3 bagian, sebagaimana yang telah disebutkan dalam tulisan di atas. dimana ke tiga bagian tersebut bisa dikatakan sebagai statifikasi yang sangat melekat pada masyarakat jawa
BalasHapusmantap
BalasHapusIjin baca baca pak
BalasHapussilahkan bang
HapusAssalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
BalasHapusSaran kak buku atau referensi yang bagus isinya terkait struktur masyarakat dan kebudayaan Jawa? Terimakasih
kalau saya memakai buku Anatomi Sistem Sosial karya M. Husni Muadz, yang mana dalam sistem sosial terdapat struktur sosial yang mengatur keharmonisan dalam masyarakat
Hapusdan untuk kebudayaan Jawa, saya mencari referensi di jurnal