PERAN SOSIAL KIAI MAUPUN USTAD DIMASYARAKAT PEDESAAN DALAM PERSPEKTIF TEORI CLIFFORD GEERTZ
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Setiap individu ataupun kelompok masyarakat yang yang berada di suatu tempat pastinya saling berinteraksi satu sama lain. Dimana mereka disatukan secara administratif yang dipegang oleh RT, RW, Kepala Dusun maupun Kepala Desa. Selain pemimpin secara administratif di atas, terdapat pula seorang pemimpin secara simbolik yang bisa mengatur kehidupan sosial yang ada dimasyarakat mengenai agama, kultur serta moral yang biasa disebut kiai atau yang lebih banyak dikenal dengan sebutan ustad.
Masyarakat Indonesia umumnya yang beragama islam, terutama yang ada di daerah pedesaan yang sangat kental dengan nilai-nilai agamanya, sangat membutuhkan figur atau seorang pemimpin rohaniyah.[1] Dalam artian bahwa para kiai atau ustad kampung memiliki peran dalam berbagai kegiatan keagamaan, seperti shalat berjamaah di mesjid, syukuran, ceramah agama yang didalamnya memuat nasehat-nasehat agama, khitanan dan lain sebagainya merupakan hal yang mengisi atau memberikan makna ataupun manfaat bagi masyarakat itu sendiri. Sehingga, untuk mengisi berbagai kegiatan agama di atas mereka membutuhkan pemimpin yang mereka patuhi dalam hal agama sebagai wadah untuk meminta nasehat, meminta pertimbangan dalam memutuskan segala sesuatu, dalam hal ini peran kiai diperlukan sebagai sosok pemimpin.
Pada masyarakat Jawa, sangatlah nampak adanya perpedaan-perbedaan yang mendasar mengenai status sosial yang melekat pada masyarakat tersebut, dan secara umum, status sosial dipengaruhi oleh usia, kekayaan dan pekerjaan. Untuk itu, bagi masyarakat Jawa, orang yang lebih tua mendapatkan penghormatan dari yang muda. Meskipun terdapat perbedaan-perbedaan tersebut, bagi masyarakat jawa, perbedaan itu sudah seharusnya ada diantara masyarakat itu agar adanya sikap saling menghargai antar masyarakat.[2] Berkenaan dengan konsep perbedaan di atas dalam status sosial, maka para kiai ataupun ustad yang ada di daerah pedesaan terutama bagi orang jawa mendapat penghormatan yang tinggi di masyarakat, karena dianggap mampu menjadi pemimpin bagi masyarakat.
Sehingga menurut Geertz, kiai adalah tokoh yang mempunyai posisi yang strategis dan sentral dalam masyarakat. Sebagai elit terdidik, kiai memberikan pengetahuan islam kepada penduduk desa, disisi lain kiai sebagai teladan bagi siapa penduduk desa yang bergantung.[3] Sebagai pemimpin islami informal, kiai atau ustad merupakan orang yang diyakini oleh penduduk desa karena mempunyai otoritas yang sangat besar dan kharismatik. Masyarakat menganggap kiai adalah orang yang suci yang dikaruniai berkah, karena mempunya kelebihan serta keutamaan-keutamaan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Sehingga kategori menjadi orang yang memiliki kelebihan, dilihat dari pengetahuannya tentang suatu ajaran yang diyakininya.
Menyatunya kehidupan kiai atau ustad di masyarakat pedesaan tidak hanya membuat mereka dekat dengan masyarakat, tetapi juga mereka juga terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial seperti gotong royong. Sehingga tidak ada jarak yang memisahkan, kecuali rasa hormat dan pelayanan. Setiap individu pasti mempunyai pola interaksi ataupun perilaku sosial di masyarakat, begitu juga yang ada pada perilaku para kiai dalam masyarakat pasti berbeda-beda pula perilaku sosial di masyarakat.
Sebagaimana yang di jelaskan oleh Geertz, yang mengatakan bahwa fenomena perbedaan perilaku sosial politik dikalangan kiai dalam banyak hal, setidaknya dipengaruhi oleh dua faktor. Yang pertama faktor posisi sosial kiai yang menurut studi-studi terdahulu memperlihatkan adanya suatu kekuatan penggerak perubahan masyarakat. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Horikoshi misalnya kiai menunjukkan kekuatan sebagai sumber perubahan sosial bukan saja pada masyarakat pesantren tetapi juga pada masyarakat di sekitarnya. Kedua, faktor kekuatan personal yang diwarnai oleh pemikiran teologis yang menjadi dasar perilaku yang diperankannya. Sebagai sosok yang sering diidentifikasi memiliki kekuatan kharismatik di tengah-tengah masyarakatnya, dan dipandang memiliki kemampuan ”luar biasa” untuk menggerakkan masyarakatnya. [4] Pada umumnya, sebagian besar para kiai atau ustad lebih banyak tinggal di daerah pedesaan, akan tetapi masyarakat tetap memandang bahwa mereka merupakan kelompok elit, yang harus dipatuhi.
Meskipun kebanyakan Kiai di Jawa tinggal dipedesaan, mereka merupakan bagian dari kelompok elite dalam struktur sosial-politik, dan ekonomi masyarakat Jawa. Sebab sebagai suatu kelompok, Kiai memiliki pengaruh yang amat kuat dan bahkan merupakan salah satu kekuatan penting dalam kehidupan politik di Indonesia. Dalam bidang ekonomi, kebanykan mereka memiliki sawah yang cukup, namun tidak perlu bersusah payah menggarapnya. Mereka memang bukan petani, tetapi pemimpin dan pengajar yang memiliki kedudukan tinggi di masyarakat.[5]
Di desa Lembah Tompotika yang berada di Sulawesi Tengah, terdapat beberapa kiai atau ustad yang sangat berperan dalam kehidupan masyarakat. Para kiai maupun ustad yang ada di desa tersebut selalu berhungan dengan masyarakat sekitar untuk saling bertukar pendapat, serta membimbing masyarakat agar selalu ke jalan yang benar. Mereka sangat diyakini oleh masyarakat sebagai panutan baik yang menjadi imam langgar atau musollah atau imam masjid, serta yang menjadi guru ngaji. Meskipun demikian, tidak terjadi perselisihan dalam hal mendapat kepercayaan masyarakat, karena pada dasarnya masyarakat yang memilih mereka untuk menjadi imam masjid ataupun imam langgar sesuai kemampuan yang dimilikinya. Meskipun keberadaan kiai dalam masyarakat pedesaan tidak mempunyai pesantren yang didalamnya banyak santri-santri seperti yang ada di kota-kota besar di Jawa, tetapi masyarakat yang hidup disekelilingnya tetap menghormati dan patuh serta memberkan kepercayaan kepada kiai kampung atau kiai langgar tersebut untuk memimpin musollah, imam dalam shalat berjamaah serta menjadi guru ngaji kepada anak-anak dan dijadikan panutan hidup bagi masyarakat.
Para kiai atau ustad yang ada di desa Lembah Tompotika, sebagian besar mereka bekerja sebagai petani dan beternak, dan yang lain bekerja di institusi pemerintah meskipun demikian, diantara waktu bekerja tersebut mereka sempat menasehati dan membimbing masyarakat dalam tuntunan agama dan juga menerima segala keluhan masyarakat agar dipecahkan sama-sama. Dalam pesta pernikahan misalnya masyarakat selalu memberika kepercayaan kepada para kiai atau ustad untuk memberikan nasihat-nasihat agama yang disampaikan secara umum, dan masyarakat juga sangat berantusias mengikuti dan mendengar acara dalam pernikahan yang dirangkaikan dengan nasihat-nasihat agama tersebut. Karena mereka menganggap bahwa orang yang memberikan nasihat tersebut memiliki kemampuan yang lebih dalam hal agama. Dan biasanya masyarakat seringkali memilih-milih orang yang akan memberikan nasihat tersebut tergantung dari kemampuan yang dimilikinya dan yang akrab dengan masyarakat itu sendiri.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Turmidi berdasarkan pemikiran Geertz yang mengatakan bawa Gelar kiai tidak harus diberikan kepada mereka yang memiliki pesantren, tetapi juga dapat diberikan kepada guru ngaji atau imam masjid yang memiliki pengetahuan keislaman lebih dibandingkan dengan warga lain. Kiai memiliki pengaruh kuat terhadap masyarakat karena faktor lingkungan dan sistem sosial.[6] Untuk itu, masyarakat yang ada di desa Lembah Tompotika selalu menghormati segala bentuk upaya kiai atau ustad kampung dalam menjalankan aktivitasnya sebagai tokoh agama tanpa menghubungkan dengan adanya pesantren yang harus dimiliki oleh para kiai yang ada dimasyarakat tersebut. Para kiai yang ada di desa lebh cepat bergaul dan beradaptasi dengan masyarakat, karena mereka lebih aktif dan hidup ditengah-tengah masyarakat tidak ada jarak yang memisahkan baik pisik maupun psikis, dibandingkan dengan kiai yang ada dipodok pesantren yang memiliki komunitas tersendiri sehingga mayarakat sukar untuk berdialog dan juga kritik dari masyarakat tidak bisa disampaikan langsung dan terbuka.
Peran merupakan sebuah kedudukan yang dimiliki seorang individu, begitu juga dengan peran kiai di masyarakat sebagai pemimpin yang dapat mengayomi atau membimbing masyarakat dengan nilai-nilai agama. Sebagai seorang pemimpin seharusnya yang dipercayai masyarakat sehingga dapat membimbing masyarakat kejalan yang benar. Begitu juga dengan kiai, yang sosok yang sangat dipercayai oleh masyarakat untuk menjadi pemimpin yang membimbing ke jalan kebaikan. Tuntunan dari seseorang yang dianggap mampu dibidangnya sangat diperlukan dalam masyarakat, terutama para kiai atau ustad kampung yang sangat akrab dengan masyarakat. Tuntutan pada kiai untuk memberi perlindungan dan pengayoman kepada masyarakat menandakan bahwa kiai sebagai pemilik “otoritas. Sebagai elit agama kiai adalah interpreter ajaran agama dan sekaligus referensi bagi seluruh umat. Peran ini ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, kiai sebagai elit sosial yang menjadi panutan dan sekaligus pelindung kepada masyarakat.
Setiap selesai magrib sampai selesai isya, para anak-anak atau remaja dilatih untuk bisa membaca dan menghapal al-qur’an oleh para kiai atau ustad, dengan tujuan agar nantiya anak-anak atau remaja tersebut mampu mengamalkan ajaran agama tersebut, tetapi disisi lain para kiai atau ustad tidak menerima imbalan apapun terhadap apa yang diajarkan kepada anak-anak. Begitu juga dalam perayaan hari besar islam salah satunya adalah perayaan maulid di masjid, masyarakat berbondong-bondong untuk pergi ke mesjid mengikuti perayaan maulid tersebut.
Hal yang menarik adalah mengapa para kiai atau ustad sangat berpengaruh dalam masyarakat, sehingga sebagian besar masyarakat sangat tergantung pada mereka. Dalam hal ini, penulis ingin memaparkan bagaimana peran social kiai atau ustad sebagai pemimpin keagamaan dalam sebuah masyarakat islam, yang khususnya menyangkut tentang peran kiai atau ustad kampung. Seperti yang kita ketahui bahwa seseorang yang melakukan hak dan kewajibannya maka orang tersebut telah melaksanakan sebuah peran. Kiai atau ustad kampung merupakan pemimpin dalam sebuah masyarakat islam yang selalu berperan penting dalam berbagai hal kemasyarakatan khususnya dalam hal keagamaan.
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah, sebagai berikut :
1. Bagaimana persepsi masyarakat pedesaan mengenai kiai atau ustad yang ada di desa Lembah Tompotika
2. Bagaimana peran sosial kiai atau ustad dalam masyarakat yang ada di desa Lembah Tompotika
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana persepsi masyarakat mengenai kiai atau ustad di masyarakat serta mengetahui peran sosial kiai atau ustad di masyarakat pedesaan.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun mamnfaat yang diharapkan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
a. Penelitian ini di harapkan dapat memberikan gambaran bagaimana persepsi masyarakat mengenai kiai dan peran kiai di masyarakat pedesaan.
2. Untuk menambah pengetahuan bagi mahasiswa tentang persepsi masyarakat mengenai kiai dan peran kiai di masyarakat pedesaan. Secara Praktis
a. Sebagai data bagi pemerintah agar bisa mengikuti perilaku para ustad atau kiai dalam kesehariannya .
b. Sebagai bahan acuan bagi mahasiswa yang berminat mengadakan penelitian lebih lanjut.
Daftar Isi
[1] Nurhaya. “Peran Sosial Kiai Pada Masyarakat Jawa, “ Jurnal SOSIOLOGI REPLEKTIF Vol. 7 No. 1 Tahun 2012, hlm 8
[2] Sudiantara, ” Perubahan Pola Hubungan Kiai Dan Santri Pada Masyarakat Muslim Tradisional Pedesaan,” Jurnal Sosiologi Islam Vol. 1 No. 2 ISSN : 2089-0192, Tahun 2011, hlm. 10
[3] Djuhana. 2005. Kepemimpinan Kiai Dalam Masyarakat.
[4] Miftah Faridl, “Peran Sosial Politik Kiai Di Indonesia, “ Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 2007, hlm 30
[5] DR. KH. Miftah Faridl “Kiai Diantara Peran Agama dan Partisipasi Politik : Dilema Sejarah dan Pencarian Identitas, , “ Jurnal Mimbar Pendidikan Vol. 20 No 4 Tahun 2001, hlm 25
[6] Endang Turmidi, "Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, “Jurnal KOMUNIKA Vol.3 No 1 Tahun 2009, hlm 29
main poker dengan banyak penghasilan
BalasHapusayo segera hubungi kami
WA : +855969190856